My photo
Penyuka berceloteh tentang spontanitas dan penggila kata meski tak suka bahasa. Sosok hitam pecinta keeksotisan alam, gila trip ala backpacking. Debur ombak dan dinginnya pegunungan yang jadi kepuasan dikala senggang.

'Penyelundupann' ke Sukabumi Selatan - Ujung Genteng

Serasa sudah lama sekali tidak bertemu dengan laut. Kangen rasanya sudah beberapa minggu terakhir ini ingin bertemu. sangat kebetulan sekali rekan kerja dari kantor sebelah yang kebetulan kenal karena urusan pekerjaan menawarkan untuk ikut trip dari komunitas jalan-jalan yang ada dikantornya. Jangan heran kenapa tiba-tiba saya ditawari untuk ikut, karena sebelumnya kita sudah sempat membahas tentang hoby dan saya pernah bercerita tentang hobby jalan-jalan saya terutama untuk mengunjungi laut. Singkat cerita tanpa pikir panjang saya ijin untuk daftar sebagai "penyelundup" trip untuk kalangan internal mereka, padahal mayoritas dari mereka tentu saya belum kenal. Namun bukan menjadi hambatan bagi saya, toh dengan blackers yang sekarang menjadi "keluarga dekat" saya saat ini juga berawal dari trip saling tidak kenal, seperti cerita saya berjudul New Family vs Makhluk Asing UK Trip. Dari ber 25 hanya 2 orang saja yang saya kenal, 1 orang yang mengajak saya dan satu orang lagi yang saya ajak (panggil "susan"). Jadi saya menambah kenalan dan teman sebanyak 22 orang lagi dari trip ini.


Antusias berlebih membuat saya berbunga-bunga 3hari sebelum keberangkatan (yang ini agak lebay). Seolah akan ketemu pacar yang sangat lama tidak bertemu, senyum-senyum girang. Ditambah lagi saya bisa hunting object foto untuk yang pertama kalinya. Jumat malam tanggal 15 July 2011 adalah saat misi "penyusupan" dimulai, jam 7 malam saya dan susan menuju meeting point di kantor sebelah, di ruangan serba guna yang baru pertama kali saya injakkan, dilengkapi dengan segerombolan manusia yang wajahnya masih asing bagi saya, mungkin hal yang sama juga yang ada dipikiran mereka. Siapa kah dua orang yang masih asing ini tiba-tiba bergabung dengan rombongan jalan-jalan internal mereka. Jabat tangan dan sebutkan nama, khas orang berkenalan sudah selayaknya dilakukan. Meski lagi-lagi memory saya tidak sanggup untuk langsung bisa menghafal masing-masing nama dari mereka. Jam 20.15 rombongan berangkat menuju sukabumi, bus yang kami tumpangi cukup nyaman untuk kalangan yang menyebut dirinya "surFIFers", bus mini AC berkapasitas 27 (termasuk sopir dan kenek) merk "ARION" meluncur melewati padatnya toll lingkar luar jakarta. Tidak banyak aktifitas yang berarti untuk keberangkatan kali ini, hanya dengkuran dan goyangan bus yang melewati hancurnya jalanan yang entah sudah sampai mana saya tidak tau. Mau ngobrol juga masih bingung takut salah sebut nama, mungkin juga karena capek seharian kerja. Jadi keberangkatan kali ini didominasi oleh tidur dengan headset ipod yang menempel ditelinga saya. Sampai akhirnya bus berhenti pukul 03.50 di desa apa namanya bahkan saya tidak tau yang jelas posisi bus berada di depan masjid. Mau sholat subuh juga belum saatnya, diputuskan untuk kembali tidur sampai waktu subuh tiba. Mulai disini perbincangan dengan penghuni bus lain terjadi, kesimpulan yang didapat adalah kita akan sampai di tujuan pertama yaitu Curug Cikaso 45 menit perjalanan dari masjid yang kami singgahi tadi.

Benar saja belum sampe memejamkan mata lagi, bus sudah sampai pada turunan jalanan yang sempit dan bergoyang. Beberapa saat lolos dari jalanan yang kurang layak tersebut, sampailah di pelataran yang katanya menjadi tempat parkir jika akan masuk ke Curug Cikaso. Terkesan sepi dan saya juga belum terbayang, dimana letak air terjun yang dimaksud. Mungkin karena terlalu pagi kita sampai, bahkan warung yang berada persis disebelah pelataran tersebut belum selesai menata barang dagangannya. Alhasil abang tukang bubur yang lewat lah yang menjadi sasaran penyerbuan para penumpang kelaparan. Mimpi apa si abang pagi-pagi sudah diserbu segerombolan manusia ganas kelaparan :). Saya sendiri memilih memesan Indomie keriting goreng plus telur dan Mocacino panas yahh lumayanlah untuk mengganjal perut sebelum main air. Kira-kira hampir satu jam meluruskan kaki setelah semalaman terpaksa ditekuk, kami beranjak menuju ke lokasi curug berada. Lolos di pos masuk dengan membayar 5 ribu per orang, melewati tepi sungai yang konon katanya bisa merendam rumah-rumah disekitarnya disaat musim hujan, persawahan yang sayangnya sudah selesai dipanen dan sampailah pada pemandangan di mana terdapat genangan air yang berasal dari ketinggian yang disebut Curug Cikaso. batu-batuan yang menghiasi aliran airnya menyita perhatian saya, suara gemericik air yang mengalir di bebatuan makin membawa langkah kaki saya untuk mencoba mengabadikan dalam kamera yang sudah saya tenteng dari tadi. Jeprat jepret sana sini dengan teknik seadanya khas pemula dengan mencoba berbagai angle yg saya anggap oke. Puas mengambil foto, saya bargabung dengan yg lain menikmati hijaunya genangan air yang nampaknya sangat segar itu. Lepas baju, meletakkan kamera lalu loncat ke genangan air yang ternyata dalam dan dingin itu.

Aktifitas dicurug ini didominasi dengan foto-foto dan bermain air serta loncat dari batu yg berposisi disebelah air terjun. Kira-kira 1.5jam kami berada di sini sampai akhirnya memutuskan untuk kembali ke pelataran parkir. Kebetulan saya mengenakan celana pendek quick dry jadi tidak perlu ganti hanya cukup berjemur meski matahari tampak malu-malu beraksi. Lumayan lama kita disini karena beberapa dari kami harus mandi dan bersih-bersih serta ganti kostum untuk next destination, bahkan ada yang masih memesan indomie goreng untuk kembali mengganjal perutnya. Setelah semuanya selesai berbenah, perjalanan dilanjutkan ke tujuan ke dua yaitu Goa Sungging. Kira-kira perjalanan satu jam dan melewati jalanan lumayan sempit sampai di pelataran tempat buat menumpang parkir bus yang kami tumpangi. Dari pelataran tersebut masih mengharuskan untuk jalan kaki kira-kira selama 30 menit untuk menyentuh mulut goa. Perlu menyewa lampu penerangan kepada penduduk yang lumayan mahal sih saya kira, waktu itu kita sewa 2 lampu, ditambah retribusi masuk kena 350 ribu. Sampai di dalam goa mulut menganga stalaktit dan stalakmitnya cukup mengagumkan. Pada dasarnya goa ini termasuk goa horizontal dan vertical, hanya saja kami hanya menyusuri goa secara horizontal saja. Ruangan-ruangan di dalam goa tergolong luas, beberapa tempat terdapat rongga dengan langit-langit yang menjulang tinggi, lorong-lorong yang dihimpit dengan bebatuan yang terukir manis. Perlu hati-hati melangkah, karena di beberapa tempat disamping jalan terdapat lubang vertical ke bawah yang jika terperosok entah itu dalam atau tidak saya tidak tahu. Tidak terdapat lumpur atau aliran air di goa ini, lebih ke arah goa kering. Caving kali ini kita masuk dan keluar di gerbang yang sama, yah kurang lebih 45 menit menyusuri sebagian rongga goa.

Terik matahari tak menyurutkan kami untuk kembali berjalan menyusuri persawahan menuju dimana bus kami berhenti terakhir. Mungkin tuntutan perutlah yang lebih punya andil dari semangat tracking ini. sebotol teh kemasan dingin dengan sukses mengalir dikerongkongan saya, sangat berlawanan dengan kondisi cuaca siang itu. Lumayan untuk mendinginkan badan dari menyengatnya matahari. sampai di bus, tidak banyak aktifitas berberes yang dilakukan seperti halnya di destination sebelumnya, bahkan pakaian kami tidak menyentuh air sedikitpun kalaupun ada itu pasti berasal dari keringat kami. Setelah semua kumpul, bus kami berangkat menuju tujuan selanjutnya yaitu ujung genteng cibuaya dan penangkaran penyu. Nah perjalanan ini cukup memakan waktu, kira-kira 3jam sampai di pemberhentian sebelum susur pantai. Namun sebelum itu kami sempat berhenti di warung bakso dengan porsi yang saya pikir jumbo tergolong cukup murah dengan Rp 8 ribu saja. Es campur, es Juice, dan es buah cukup dengan Rp 5 ribu pas banget dengan budget makan dari panitia Rp 13 ribu. Sebelum acara susur pantai, kami sempat berhenti untuk menumpang sholat di sebuah mushola tepi pantai yang kondisinya sangat mengenaskan.

Susur pantai disaat matahari sedang terik-teriknya memang sedikit ide gila, sengatan matahari sedikti membuat pusing. Tapi rasa kangen berlebih pada laut lebih kuat. Kalau untuk urusan takut hitam sudah hilang dari pikiran saya, mana ada backpacker takut matahari. Beberapa saat menyusuri pantai dengan pasir putih yang lembut ini, sampailah kami di sebuah bangunan persinggahan yang ternyata adalah lokasi dimana anak penyu alias tukik ditangkarkan. Wow, ternyata kelapa muda sudah siap menanti ketika kami datang, diantara haus dan segarnya air kelapa yang sangat menggoda tak berlama-lama buah khas pantai itu kami santap. Angin pantai kali ini sangat menggoda untuk kami bermalas-malasan di bawah pepohonan diatas pasir, posisi tiduran sambil menikmati pemandangan yang tidak kami temukan di ibu kota, yakk ombak bergulung-gulung , birunya laut, kontrasnya pasir putih, perfect. Aktifitas ini kami lakukan sambil menunggu indahnya sunset, dari Jakarta sudah sempat saya bayangkan betapa indahnya sunset disaat cuaca sedang cerah seperti ini. Di saat bersantai seperti ini tiba-tiba banyak kerumunan pengunjung berbondong-bondong menuju ke tepi laut, dengan diiringi teriakan petugas melalui megaphone yang ditentengnya. Ah kirain ada apa, ternyata inilah salah satu yang kami nantikan yaitu melepas tukik ke laut.

Petugas dengan mengatur barisan dari semua pengunjung dengan rapi, selanjutnya dibagikan satu persatu tukik yang nantinya akan bersama-sama dilepaskan ke habitat aslinya. Sunset yang kami tunggu pun kalah menarik dari event ini, tapi saya sempat beberapa kali mengabadikan kuningnya langit sore hari. Sore ini tampak seru dengan aktifitas melepas anak penyu ke laut disaat matahari mulai bersiap-siap untuk bersembunyi. Lagi-lagi saya katakan ini sore yang perfect. Semacam pertandingan lari bagi para tukik seolah kegirangan dan antusias berhamburan menuju ke habitat asli mereka. Menurut petugas yang sempat kami bercakap dikeesokan harinya, anak penyu yang kami lepas ini akan kembali untuk bertelur ke pantai ini setelah kurang lebih 5 tahun mereka berkelana. Tau darimana? dari historical data pastinya, jadi ternyata mereka diberikan tanda dari sejenis logam di tempurungnya (sayang sekali saya tidak memperhatikan dengan jeli ketika memegangnya untuk dilepas).

Euforia penyu dan sunset masih belum hilang ketika ternyata langit sudah mulai gelap, itu berarti kami harus memikirkan akan tinggal dan tidur dimana malam ini. Cukup seru proses memutuskan tempat untuk nenda kali ini, karena terdapat dua kubu yang mempunyai pendapat yaitu kubu pertama dengan bersikukuh untuk mendirikan tenda di areal penangkaran sesuai dengan advice dari petugas dengan alasan jika diluar sana sangat berbahaya masih banyak binatang buas termasuk ular dan buaya yang berkeliaran, serta tentunya petugas tidak mau ikut tanggung jawab jika terjadi apa-apa, itulah kenapa jika akan mengikuti pendapat dari kubu kedua perlu membuat surat pernyataan kepada petugas yang berisi segala resiko akan kami tanggung sendiri. Namun, pada akhirnya pendapat dari kubu kedualah yang menjadi keputusan bersama, setelah ada penjelasan dari petugas tentang alasan sebenarnya kenapa kita sedikit dilarang mendirikan tenda di luar area pagar penangkaran. Ternyata alasan sebenarnya adalah bahaya pencurian oleh para "maling" telor penyu atas barang-barang kami, makanya dibutuhkan ronda bergantian ketika kami tetap bersikukuh untuk mendirikan tenda di luar area.

Tracking dimulai dengan membawa semua perbekalan melewati jalanan setapak. Gelap? tentu tidak, bertepatan dengan bulatnya bulan purnama jadi tidak perlu penerangan lagi untuk tracking kali ini. Di tengah perjalanan kami berhenti untuk beristirahat sekalian makan malam yang menunya ayam bakar dengan tusuk raksasa plus ikan bakar segar dengan sambal seadanya berupa cabai dan kecap namun rasanya cukup menggoyang lidah, mungkin karena kami sangat lapar plus makan bareng rame-rame seperti ini yang merupakan bumbu intangible yang selalu menambah gurih masakan. Perut kenyang mulai semangat lagi melanjutka perjalanan menyusuri pepohonan. kurang lebih 15 menit sampailah di sebuah lahan pasir yang ternyata berada sangat dekat dengan debur ombak, yup kita mendirikan tenda di lahan tinggi ditepi hamparan pasir putih, perfect. Selesai mendirikan tenda, aktifitas rutin malam hari adalah ngobrol sana sini, bercanda, nyanyi-nyanyi sambil nyemil sambil menikmati cerahnya malam ini sampai-sampai para bintang tidak bisa menyembunyikan dirinya, ditambah bulatnya bulan purnama menambah cantik langit malam ini. Lama kelamaan peserta nimbrung makin berkurang, suara nyanyian dan gitar semakin perlahan hilang, sleeping sudah menyelimuti badan, hanya beralaskan matras di luar tenda kamipun terlelap tenang sampai riuhnya pagi datang.

Sayang sekali sun rise tidak bisa kami nikmati pagi ini, karena posisi pantai ini lebih cenderung menghadap ke barat jadi matahari muncul berasal dari daratan. Namun bukan berarti mengurangi indahnya pagi ini. Bagi saya sendiri yang sedang asyik mengotak-atik kamera dan melakukan berbagai percobaan settingan, tak berhenti jepret sana sini dengan berbagai object yang ada. Tentu saja, aktifitas ini kami (saya lebih tepatnya) kami lakukan setelah menyantap nasi goreng bikinan salah satu diantara kami, sambil sesekali menculik sosis yg digoreng pada nesting yahh tidak jadi soal apakah sebenarnya sudah matang sempurna atau belum.

Puas menikmati pagi, pasir, ombak dan foto-foto kami beranjak menuju tenda dan memulai membereskan tenda serta perlengkapan yang lain. Memastikan tidak ada yang tertinggal termasuk juga sampah, susur pantai selanjutnya kita lakukan menuju ke area penangkaran penyu dimana bus kami bermalam. Berebut kamar mandi, beberes, ada yang menambah pasokan tenaga HP nya, berbincang dengan petugas sekedar mendengar cerita dan nasib penangkaran yang menurut mereka sangat jauh dari dana yang ideal (miris kalo mendengar point yang terakhir, mereka lebih banyak melakukan rutinitas dengan swadaya. Perlu diketahui bahwa penangkaran penyu ini berada di bawah naungan pemda yang mengurusi bidang perikanan dan kelautan).

Tidak jauh dari itinerary yang kita buat sebelumnya, setelah semuanya siap kami memulai perjalanan panjang menuju ibu kota. Dari mulai panas terik, hujan, macet disana sini, berhenti untuk makan siang yang kesorean, sholat, semuanya memakan waktu kurang lebih 9 jam.

Trima kasih suFIFers, mengijinkan saya ikut gabung bersama trip internal kalian sehingga saya bisa mengobati kekangenan kepada laut . Sampai ketemu di trip-trip selanjutnya :).

Oh iya, karena ini trip kantor pada dasarnya jadi ada dana subsidi sebenarnya. Saya sebagai orang luar dipatok harga 200 ribu saja untuk semua kebutuhan trip, dan itu tergolong murah untuk ukuran fasilitas yang saya terima.

No comments:

Post a Comment