My photo
Penyuka berceloteh tentang spontanitas dan penggila kata meski tak suka bahasa. Sosok hitam pecinta keeksotisan alam, gila trip ala backpacking. Debur ombak dan dinginnya pegunungan yang jadi kepuasan dikala senggang.

Keeksotisan Sawarna (18-19 Des 2010)

Mendekati pukul 11 malam, tim berangkat menuju tujuan trip kali ini "sawarna". Berharap kerinduan akan alam bisa terobati secepatnya. jenuh, jengah, buntu serta begah terharap semua urusan di ibu kota bisa teracuhkan barang sejenak. Ber-12 berangkat menumpangi elf melaju menembus padatnya metropolitan jumat malam. Ingin cepat-cepat rasanya keluar dari kota penuh kemacetan ini. Pelan namun tak pasti kapan keruwetan jalanan ini akan terurai, ahh lebih baik saya bersantai pasang ipod dan melamun syukur-syukur ketiduran dan saat bangun sudah bisa melihat keindahan garis pemisah daratan dan perairan.

Entah apa yang terjadi, ibu kota macet setengah mati. Baru jam 1an dini hari elf lolos melewati karawaci dan berhasil melenggang sexy. Kesexyan makin menjadi ketika mobil ini harus melintasi jalanan yang benar-benar tidak layak lagi. Lobang disana sini, belum lagi genangan air yang menemani selama kurang lebih 4 jam sebelum akhirnya aspal mulus bisa kami temui meski kelok dan tanjakan yang gantian mengambil posisi.

ahh sampai juga akhirnya (jam7 pagi), 'rombongan' tiba di penginapan Bu Nenden (fyi,lumayan cantik hihi) meluruskan punggung, benahi posisi pantat, selonjoran sebentar sekedar mengurangi linunya dengkul ini. sejenak sarapan pagi yg sudah siap di meja makan, nasi goreng plus telor ayam, krupuk dan rempeyek kacang, sebelum akhirnya bersiap menuju pit stop pertama yaitu Goa Lalay. Kira-kira jalan kaki setengah jam dari penginapan terhitung sampai mulut goa dan sudah termasuk acara wajib yaitu foto-foto. Jalan setapak melewati hamparan sawah dan jembatan kayu sebrangi sungai nampak ini benar-benar bukan sedang berada di perkotaan.

Goa Lalay berada didaerah perbukitan, dimana mulut goa dialiri air, beruntung tidak sedang besar debit airnya waktu itu. kami masuk dengan tanpa effort berlebih. Mulut goa yang nampak biasa aja terbantahkan asumsi bahwa goa ini kecil dan biasa saja. Terbukti setelah pintu masuk, terpampang didepan mata kami lorong besar, dan tentunya lengkap dengan aliran air dan lumpur yang lumayan mengganggu langkah kaki. Semakin kami berjalan, semakin dalam dan pekat lumpur yang kami injak. Aroma kelelawar semakin nampak, dan guntaian stalagtit goa mulai nampak berbentuk. Stalagmit goa ini tidak terlalu special,meski telah kami coba jelajahi dengan lampu petromak dan emergency lamp yang kami sewa 20ribu rupiah dari guide. Perjalan terhenti sejenak ketika terlihat pandangan kedepan sudah mentok, tapi ternyata kami salah,setelah batu besar yg menghalangi pandangan ternyata masih terdapat lorong kecil yag hanya muat satu orang sekali lewat,sempat ragu untuk mencoba masuk atau tidak tapi diputuskan untuk lanjut dgn alasan sayang sudah sampai sini jauh-jauh dari jakarta. Kali ini hanya para cowok saja yang lanjut,cewek-cewek menunggu ditempat sebelumnya.

Lorong sempit ini mewarnai perjalanan kami, merangkak , nunduk, ngangkang dan segala macam pose dilakukan untuk bisa masuk supaya kepala aman benturan dan kaki aman dari batu cadas yang ada di bagian bawah kami. Bersyukur kami putuskan untuk lanjut,karena kami sepakat inilah caving yang kita inginkan,bukan berjalan ditanah lapang yang bisa melenggang dengan tenang. Gelap, bau t*i kelelawar, pengap dan lembab serta girang berhasil melewati lorong mungil itu dan sampai di rongga besar lagi. Di titik ini kami putuskan untuk kembali mengingat temen cewek kami menunggu di rongga sebelumnya.

Penelusuran kelar dan saatnya menyusuri perbukitan, sawah dan sungai menuju pit stop selanjutnya, kurang lebih satu jam berjalan letih memang apalagi sinar matahari sangat menyengat (ya iyalah tepat tengah hari penyusuran ini dilakukan), namun sambutan hamparan pasir putih dan ombak yang luar biasa rasa itu semua hilang dan digantikan oleh rasa girang seperti ketemu saudara yang lama tidak bertemu. Artinya kami sudah sampai di Pantai Legon Pari. Teriknya matahari tidak menghalangi kami untuk bergumul dengan para ombak yang sexy itu. basah, gosong, lengket air garam, dan lapar yang akhirnya menuntun kami untuk kembali melangkah menuju pitstop selanjutnya.

Menyusuri garis pantai yang penuh dengan karang dan batuan cadas serta beberapa tebing disebelah kami. Terik, hujan, grimis, sampai panas lagi dan kostum yang kami pakai kembali kering sampailah di Tanjung Layar, view 2 karang besar bersanding dengan hamparan karang yang diserbu ombak besar nampak begitu luar biasa pemandangan ini. Kelapa muda sudah menunggu untuk kita hisap sampai kering, dan makan siang yg agak terlambat meski hanya berlauk ikan dan sayur urap rasanya luar biasa mungkin karena ambience yang muncul, deburan ombak dan pemandangan yang asoy. Memang enak malas-malasan ditempat seperti ini, tapi hari sudah semakin sore, harus memikirkan perjalan ke penginapan masih sangat jauh belum lagi nanti harus berebut mandi. Ya ya ya, mandi harus dipikirkan 12 orang dengan 2 kamar mandi dan waktu yang semakin mendekati magrib. hmm kocokan lotre untuk urutan mandi akhirnya yang jadi pilihan solusi. Modal kertas dan pulpen kocokan dimulai, dan memang dari sejak lahir tidak pernah lucky untuk urusan peruntungan undian, saya dapat urutan ke 10 dari 12 angka yang tersedia, sial.
Menyusuri garis pantai, lagi? yap memang sengaja dari pitstop pertama kita berniat explore pesisir pantai ini. kurang lebih 45menit perjalanan sampai lagi di tempat kami istirahat untuk malam ini. Mandi, beberes, rehat, sholat, dan acara pijat memijat, dan hanya satu yang absen dilakukan seperti trip biasanya yaitu main kartu gebrak, selain kaki sudah gempor rasanya badan pegal mungkin akumulasi dari malam sebelumnya selama perjalanan. Intinya tidak ada yang special malam minggu ini, guyuran hujan membuat kami terlelap pulas.

Minggu pagi kami bangun dengan muka cemerlang cukup istirahat, tanpa mandi kami mulai hari ini dengan ngobrol di teras sambil makan pagi yang sudah disiapkan Bu Nenden. Aktifitas itu kami percepat sebelum hari semakin terik untuk explore pantai sawarna yang kemarin sebenarnya kami lewati namun belum sepat untuk dinikmati.Lewati jembatan kayu dan jalan setapak, sampailah di pantai berombak besar yang pasti akan digilai oleh pecinta surfing. Panas memang, tapi view laut ini mengalahkan rasa itu, terus berjalan dan sesekali
berhenti untuk menikmati keeksotisan awan yang nampak seolah terlukis teratur oleh penciptanya. Saya putuskan untuk menghabiskan waktu ditanjung layar sambil istirahat dan sekedar minum soft drink dingin. Foto, melamun, dan diskusi dengan diantara kami yang bisa kami lakukan, beberapa saat kami kembali dan berjumpa dengan beberapa diantara kami yang lain dan memutuskan untuk kembali ke penginapan bersiap untuk pulang ke jakarta.

Sampai di penginapan bukan beres-beres tapi lagi-lagi menyerbu kelapa muda yang sudah rapi tertata di gazebo samping, bakso ikan si mamang yang lewat ludes kami serbu. Repacking sudah menjadi aktifitas yang sangat tidak asing bagi kami sebagai backpacker, hanya butuh beberapa menit untuk menyelesaikan itu sebelum akhirnya kami harus berpamitan dengan Bu Nenden dan memulai perjalan panjang lagi kembali ke jakarta. Dan kali ini diputuskan untuk melewati jalur yang berbeda pada saat berangkat. Tidak terlalu banyak lobang yang di'pasang' di tengah jalan, hanya saja mobil elf kami masih saja bergeol seksi akibat jalan yang berkelok, turunan, tanjakan. Kanan kiri perjalanan dihiasi perbukitan, hutan dan perkebunan kelapa sawit. Baru 4,5 jam dari perjalanan kami menemukan kehidupan dan artinya cacing di lambung kami bisa tersenyum lega. Nampak beberapa warung, dan late lunch pun bisa kami eksekusi. Menikmati nasi padang sambil menyaksikan perhelatan Bola AFF indonesia melawan filipina di daerah orang (rangkasbitung) memang ada euforia tersendiri. Selanjutnya perjalanan tidak ada yang special karena lebih didominasi dengan dengkuran dan terpejamnya mata dari kami. Trip ini berkakhir di jakarta pada pukul 11 malam, ya ya ya tepat 48 jam kami melewati weekend bersama 12 orang dari kami. Kenalan baru, teman baru, sodara baru. hanya 6 orang dari 12 ini yang saya kenal sebelumnya, sisanya baru bertemu ketika di meeting point. Inilah mungkin kelebihan dari kami backpacker, bisa nyaman dengan siapapun (yang ini agak berlebihan ).

Tak sabar menunggu trip-trip lain yang akan lebih dan lebih asoy lagi.

1 jam tersisa

Bukan pertama kalinya ini terjadi, bahkan sudah tidak terhitung jari moment ini terlewati. Tapi rasa hati mata dan entah apapun itu selalu sama, persis malah. Dan lagi2 tatapan kesedihan itu slalu ikut meramaikan sekelumit detik. Sebagian bilang ini sesuatu yg wajar dan tidak berlebihan, namun bagi orang yg sama sekali tidak pernah mengalami ini sama halnya dengan apa yg ada diprasaan mereka ketika berangkat kerja dan sore sudah kembali ke rumah.

Ini sebuah perhiasan hidup, bermain dengan golak perasaan. Dipermainkan oleh suasana hati dan kondisi yg menjadwalkan semuanya terjadi, dan saya yakin ini tidak berjalan dengan sendirinya tetapi sengaja diberikan untuk eksotisme 'perjalanan'.

Bukan sedih krn jarak tapi moment 1 jam sblm pergi. Semua tampak seolah akan berakhir, tidak dan tentu tidak, ini hanya salah satu rutinitas bukan sebuah proses baru, krn ini selalu terjadi berulang dengan object dan ambience yg sama sekali tidak berbeda. Selalu 1jam tersisa ingin dipadatkan menjadi keseluruhan curahan perhatian. Mencoba bersikap tegar dan seolah ini terjadi begitu saja. Tapi tatapan mata tidak pernah menipu,kita (saya,ibu,& bapak) sama-sama sedih, akan sedikit lama untuk bertemu lagi. Puncaknya adalah ketika kecupan pipi,pelukan dan lambaian sudah menjadi "koreografi" , ahhh itu adalah moment yg paling saya benci.

Murni ini bukan 'sedih' tapi semacam perasaan syahdu yg mendalam, ini hanya masalah pilihan dan konsekuensi

EPISODE TERBATAS

Bukan “waktu” yang punya andil tapi murni “hati” dan rekan sejawatnya yaitu “perasaan”. Bukan juga atas dasar kebiasaan tapi murnikarena keinginan untuk mencoba. Jelas ini sebuah kesucian tanpa paksaan yang mewakilkan kesakralan, bukan semata-mata karena iseng asal dan belas kasihan. Kesadaran dan keikhlasan untuk mempersialhkan lebih berharga dibanding kebencian dan keacuhan. Tapi sangat bodoh dan dungu jika ini bisa berjalan dengan mulus. Kita dicipta bukan sebagai setumpuk batu ataupun sekedar benda mati lainnya, yang dengan sukarela menuruti sebuah lenting sebagian, lenting sempurna dan apalah itu namanya. Sudah selayaknya hati, pikiran dan perasaan masih menjadi senjata andalan yang secara “sengaja” dianugerahkan oleh Tuhan.

Sabar dan ikhlas mungkin akan menjadi andalan untuk bertahan saat ini. Senyum manis dan raut segar menjadi bungkus dan ajang menghibur diri. Semuanya sudah diberikan script hebat dengan alur cerita yang sangat menarik, sebuah panggung gemerlap untuk mempertontonkan klimaks kisah tersebut. Semua ada masanya dan setiap masa ada tokohnya masing-masing, saya percaya dan yakin akan hal itu, yang terbaik akan datang tepat pada episodenya nanti. Jangan sampai lakon tertanggu karena emosi dan pendaman sepenggal kekecewaan.

Mari melangkah lurus ke depan dan acuhkan spion jika diperlukan. Lupakan semua kepingan dan mulai dengan judul baru, bukan perpanjangan episode yang terus-terusan dan menjadi semakin ala kadarnya karena kejar tayang